Jawaban Bagi Pencela Syaikh al-Albani 2


dari rangkaian artikel berjudul
Syaikh Al-Albani: Ahli Hadits yang Terdzalimi*

Penulis: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi hafidzahullah

Tuduhan Kelima
AL-ALBANI BUKAN AHLI HADITS

Sebagian mereka mengatakan bahwa al-Albani bukanlah ahli hadits dan tidak layak mendapat gelar al-Muhaddits, apalagi terlihat bahwa beliau kadang-kadang berubah pendapat tentang pendapatnya terhadap hukum hadits.

Jawaban:

1. Gelar “al-Muhaddits” untuk Syaikh al-Albani bukanlah dari beliau, bahkan karena tawadhu’nya, beliau tidak ridha dengannya[1]. Padahal beliau berhak mendapatkan gelar tersebut, sebab gelar “al-Muhaddits” adalah untuk seorang yang menggeluti hadits secara riwayah dan diroyah, dan banyak menelaah dan meneliti para perawi hadits dan riwayat hadits. Adapun ucapan sebagian ulama bahwa mereka tidak menilai seorang itu ahli hadits sehingga menulis dua puluh ribu hadits, maka maksudnya adalah pada zaman mereka. Jadi, gelar tersebut dikembalikan kepada ‘urf zaman dan penilaian ulama yang hidup pada zaman tersebut.[2]

2. Gelar tersebut dari para ulama Sunnah dan para ahli hadits yang hidup sezaman dengannya seperti Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Hammad al-Anshari; bahkan oleh musuh-musuh beliau sendiri. Bahkan beliau mendapatkan piagam penghargaan Raja Faishal atas jerih payahnya dalam hadits[3]. Cukuplah mewakili semua itu, ucapan indah Syaikh Dr. Bakr Abu Zaid rahimahullah tatkala membantah ucapan Muhammad Ali ash-Shabuni bahwa al-Albani rahimahullah tidak pandai hadits, “Ini merupakan kejahilan yang sangat dalam dan pelecehan yang keterlaluan, karena kehebatan ilmu al-Albani dan perjuangannya membela Sunnah dan aqidah Salaf sangat populer dalam hati para ahli ilmu. Tidak ada yang mengingkari hal itu kecuali musuh yang jahil. Saya tidak mau memperpanjang bahasan, saya serahkan hukumnya pada saudara pembaca.”[4]

3. Adapun adanya beberapa ralat beliau, maka hal ini tidak mengurangi kehebatan beliau dalam hadits, bahkan hal ini mengangkat derajatnya, karena beliau tidak sombong kembali kepada kebenaran sebagaimana beliau sendiri sering mengatakan, “Ilmu tidak mengenal kejumudan.” Kemudian, kesalahan tersebut bila dibandingkan dengan jumlah hadits yang dihukumi oleh al-Albani maka terhitung sedikit, karena hadits yang beliau hukumi sangat banyak jumlahnya, puluhan ribu!

Tuduhan Keenam
AL-ALBANI MENGKAFIRKAN AL-IMAM AL-BUKHARI

Seperti tuduhan para penyusun buku Membongkar Kebohongan Buku Mantan Kiai…hlm. 242-243 dan para pengelola blog Salafytobat yang menyatakan bahwa al-Albani mengkafirkan al-Imam al-Bukhari!

Jawaban:

1. Sunnguh, ini ada kedustaan yang sangat keji! Bagaimana mungkin seorang yang dikenal memberantas pemikiran takfir[5] (asal-asalan memvonis kafir) justru dituduh melakukannya. Renungkanlah kisah yang diceritakan oleh muridnya, Dr. Basim bin Faishal al-Jawabirah hafidzahullah, “Saya mengenal Syaikh al-Albani semenjak dua puluh tahun silam. Saat itu saya masih di bangku Tsanawiyah (setingkat dengan SMA/Aliyah, pen.) dan saat itu saya masih berpemilkiran seperti para pemuda lainnya yang mengkafirkan kaum muslimin dan tidak mau shalat di masjid mereka dengan alasan bahwa mereka adalah masyarakat jahiliyah.

Ketika Syaikh al-Albani rahimahullah datang ke Yordania, beliau mengundang kami untuk berdialog di rumah menantunya, maka kami pun berangkat memenuhi undangannya bersama guru kami yang takfiri sehingga sampai ke rumah menantunya menjelang shalat Isya’. Setiba di sana, salah seorang di antara kami mengumandangkan adzan. Setelah itu, Syaikh al-Albani rahimahullah bertanya kepada kami, “Kami yang mengimami kalian ataukah kalian yang mengimami kami?!” Guru takfiri kami menjawab, “Menurut keyakinan kami, Anda adalah kafir!!” Syaikh al-Albani rahimahullah balik menjawab, “Adapun menurut keyakinanku, kalian adalah muslim.” Setelah usai shalat, berlangsunglah dialog. Sungguh mengherankan, dialog bersambung dan diteruskan pada hari kedua di rumah salah seorang jama’ah takfir hingga menjelang Shubuh, kemudian disambung lagi pada hari ketiga di rumah Syaikh al-Albani sendiri sejak ba’da Isya’ hingga adzan Shubuh dikumandangkan. Setelah itu, saya dan beberapa rekan berangkat bersama Syaikh Nashir untuk pergi menjalankan shalat. Kami semua bertaubat dari pemikiran sesat itu kecuali segelintir orang yang kemudian mereka menjadi murtad –na’udzubillahi-.[6]

2. Bagaimana mungkin Syaikh al-Albani rahimahullah mengkafirkan al-Imam al-Bukhari,  padahal beliau sendiri selalu memujinya? Beliau menyifati al-Imam al-Bukhari sebagai Imam Dunia[7], Amirul Muhadditsin (pemimpin ahli hadits)[8], dan-admin Imam Muhadditsin[9]. Beliau juga berkata dalam kaset Man Huwa Kafir, “Sesungguhnya al-Imam al-Bukhari tidak membutuhkan pujian orang, karena Allah telah menjadikan kitab Shahih-nya pada tingkatan setelah al-Qur’an yang mulia dan diterima oleh seluruh kaum Muslimin di setiap penjuru dunia yang notabene berbeda-beda.”

3. Para penuduh tersebut menyandarkan hujatan mereka tersebut dengan berpedoman kepada buku Fatawa Syaikh al-Albani wa Muqoronatuha bi Fatawa Ulama karya Ukasyah Abdul Mannan, padahal buku ini telah diingkari sendiri oleh Syaikh al-Albani secara keras, sebagaimana diceritakan oleh murid-murid beliau seperti Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi, Syaikh Salim al-Hilali, Syaikh Masyhur bin Hasan, dll.[10]

Tuduhan Ketujuh
AL-ALBANI TIDAK PUNYA GURU DAN DIKELUARKAN DARI JAMI’AH ISLAM MADINAH

Sebagian kalangan mencela Syaikh al-Albani dengan mengatakan bahwa beliau tidak memiliki guru, belajarnya hanya otodidak saja sehingga banyak salah dan tersesat. Dan karena itulah dia dikeluarkan dari Jami’ah Islamiyyah Madinah.

Jawaban:

1. Seandainya kita membaca buku-buku tentang biografi beliau, akan kita dapatkan bahwa di antara gurunya adalah ayahnya sendiri Nuh, Syaikh Sa’id al-Burhani,Syaikh Ahmad al-Husani, dan beliau mendapatkan ijazah sanad dari Syaikh Muhammad Roghib ath-Thobbakh (ahli hadits dan sejarah dari kota Halab), riwayat-riwayatnya dalam kumpulan kitabnya Anwar Jaliyyah fi Mukhtashar Atsbat Halabiyyah. Syaikh Ali Hasan hafidzahullah setelah menyebutkan hal ini, beliau berkomentar, “Hal ini merupakan bantahan kepada orang yang mengatakan bahwa al-Albani tidak punya guru.”[11]

2. Tidak disyaratkan seorang ulama harus memiliki banyak guru. Bukankah ada juga para ulama dahulu yang gurunya tidak terlalu banyak seperti Abu Umar al-Lakhmi dan Abdul Hayyi al-Laknawi[12]?! Bukankah al-Albani belajar dari kitab-kitab ulama dan yang penting adalah beliau di atas jalan yang benar sebagaimana diakui oleh ulama-ulama sunnah dan tauhid yang hidup sezaman dengannya.

Demikian juga tidak disyaratkan memiliki sanad, apalagi sanad pada zaman sekarang tidak betapa penting, karena tidak mempengaruhi status hukum hadits[13]

3. Adapun tuduhan bahwa Syaikh al-Albani dikeluarkan dari Jami’ah Islamiyah Madinah maka ini hanya isu yang hanya berpedoman pada gosip yang beredar. Apakah setiap gosip yang beredar itu pasti benar? Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad, salah seorang dosen Universitas Madinah sejak awal berdiri, mengatakan bahwa Syaikh al-Albani keluar dari Jami’ah karena habis kontrak kerjanya, bukan karena dikeluarkan!![14] Buktinya, hubungan Syaikh al-Albani dengan Syaikh Bin Baz (rektor Jami’ah saat itu) dan Syaikh al-Abbad baik-baik saja walaupun setelah keluar dari Jami’ah. Bahkan Syaikh al-Albani berwasiat agar kitab-kitabnya diberikan ke Maktabah Jami’ah Madinah.

Tuduhan Kedelapan
ALBANI MEMBID’AHKAN FIQIH MADZHAB

Sebagian ada yang menyatakan bahwa Syaikh al-Albani telah membid’ahkan fiqih madzhab dan mempunyai paham anti madzhab dan malah dituduh ingin meruntuhkan syari’ah Islam. Dan telah terjadi diskusi antara Syaikh al-Albani dan Dr. Sa’id Ramadhan al-Buthi dalam masalah ini.

Jawaban:

Syaikh al-Albani sendiri pernah ditanya tentang tuduhan ini, lalu beliau menjawab menikul ucapan seorang penyair:

Ghoirii janaa wa ana al-mu’adzdzabu fiikum

Faka annanii sabbaabatu al-mutanaddimi

Orang lain yang berbuat jahat tapi saya yang kena getahnya
Seakan-akan diriku ini seperti jari orang yang menyesali diri
.[15]

Benar, orang yang mengenal  Syaikh al-Albani  pasti akan mengetahui bahwa  ini adalah kedustaan terhadap beliau. Tatkala beliau mengajak manusia untuk kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman Salaf Shalih dan mengingkari  fanatisme madzhab, beliau dianggap mengeingkari madzhab, padahal inilah metode yang dianjurkan oleh imam-imam madzhab sendiri, yaitu agar mengambil al-Qur’an dan Sunnah, bukan fanatik atau taklid buta kepada imam tertentu. Kesimpulannya, ini adalah tuduhan dusta. Bahkan, yang sebenarnya, beliau sangat menghormati para imam madzhab semuanya tanpa pilih-pilih dan menganjurkan untuk memahami ilmu dengan bantuan kitab-kitab ulama madzhab.[16]

Adapun buku Syaikh Dr. Sa’id al-Buthi tentang masalah ini sudah dibantah oleh Syaikh al-Albani dan jawaban ringkas terhadapnya. Sebenarnya masih banyak lagi tuduhan-tuduhan dusta lainnya tetapi semoga dengan penjelasan ini kebingungan kita menjadi hilang. Aamiin ya Rabbal ‘alamin.

*dari Majalah Al Furqon, No. 114 Edisi 11 Th. ke-10, Jumada Akhir 1432 H hlm. 19-26.

Artikel Sebelumnya.


[1] Lihat Sualat al-Halabi lisy Syaikh al-Albani: I/75.

[2] Lihat Tadrib Rowi: I/37-38 oleh as-Suyuthi dan Qoawa’id Tahdits hlm. 79 oleh al-Qosimi.

[3] Lihat secara luas dalam buku kami Syaikh al-Albani Dihujat hlm. 71-82, set. Salwa Press.

[4] Lihat at-Tahdzir min Mukhtasharat ash-Shabuni fi Tafsir hlm. 41

[5] Saya jadi teringat dengan kisah seorang kawan di Emirat Arab kepada saya, dahulunya dia termasuk pemuda yang menjadi korban pemikiran takfir sehingga dia mengkafirkan semua orang, sampai-sampai dia mengatakan, “Negeri Arab lebih parah kafirnya dari pada Amerika dll. Karena kafirnya negeri Arab adalah munafik sedangkan kafirnya Amerika adalah terang-terangan.” Dia pun dengan dua kawannya akhirnya melakukan hijrah(!) ke Amerika dan tinggal di sana beberapa tahun. Namun takdir Allah memilih untuk menunjukkan jalan yang benar baginya, tatkala dia membuka internet dan menyimak penjelasan Syaikh al-Albani tentang pengkafiran, dia pun terbuka hatinya dan akhirnya bertaubat dari pemikiran-pemikirannya. Semoga Allah menetapkan langkahnya di atas jalan yang benar.

[6] Maqalatul Albani hlm. 214-215 oleh Nuruddin Tholib

[7] Silsilah ash-Shahihah: IV/Y

[8] Ibid. III/H

[9] Ibid. VI/980

[10] Lihat Fatawa Ulama Akabir karya Abdul Malik al-Jazairi hlm. 106 dan Shofahat Baidho min Hayati Imam al-Albani karya Syaikh Abu Asma’ hlm. 88 dan Ta’liq Syaikh Masyhur bin Hasan Salman terhadap kitab Aroul Imam al-Albani at-Tarbawiyyah hlm. 36 oleh Iyad asy-Syami.

[11] Ma’a Syaikhina hlm. 6

[12] Sebagaimana dalam Buhyatul Multamis hlm. 184 dan al-Imam Abdul Hayyi al-Laknawi Allamatul Hindi hlm. 94

[13] Lihat al-Intishar li Ash-habil Hadits hlm. 176 oleh Dr. Umar Bazmul dan Tabriatul Imam Muhaddits hlm. 84 oleh Dr. Ibrahim ar-Ruhaili

[14] Lihat ar-Radd ‘ala Rifa’i wal Buthi hlm. 79 dan Tabriah Imam Muhaddits hlm. 86 oleh Dr. Ibrahim ar-Ruhaili

[15] Lihat bait ini dalam al-Idhoh fi Ulum Balaghah oleh al-Qozwini: I/211

[16] Lihat lebih luas kitab al-Manhaj Salafi ‘inda Syaikh al-Albani hlm. 250-257 oleh Syaikh Amr Abdul Mun’in dan as-Salafiyah oleh Syaikh al-Albani hlm. 137-141