Mutharrif bin ‘Abdillah Shikhkhir al-Amiri al-Harasyi al-Basri rahimahullah Sang Mujabud Dakwah


Seorang Mutharrif, Putra Seorang  Sahabat Rasulullah

Dikenal sebagai salah satu tokoh senior kalangan Tabi’in. Terlahir dari seorang ayah yang memperoleh kemuliaan menjadi Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Abdullah bin Sikhkhir. Sebenarnya saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, tokoh besar Mutharrif rahimahullah ini, sudah lahir. Hanya saja, usia Mutharrif rahimahullah belum menginjak masa tamyiz (sekitar 7 tahun) ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat.

Ibnu Hibban rahimahullah berkata dalam ats-Tsiqat: “Dia dilahirkan di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup”.[1] Sementara dalam al-Ishabah, al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah memasukkannya dalam thabaqah tsaniyah (tingkatan kedua) yang memuat daftar orang-orang yang dilahirkan di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mereka belum mencapai usia tamyiz ketika beliau wafat.[2] Dia wafat pada tahun 95 H di kota Basrah.[3]

 

Sang Mujaabud Dakwah

Berdoa adalah penting bagi seorang Muslim. Pertanda adanya hubungan seorang hamba yang lemah dengan Allah subhanahu wa ta’ala al-Khaliq (Maha Pencipta) Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Banyak ayat .dan hadits yang menerangkan keutamaan dan pengaruh positif doa bagi kehidupan seorang hamba.

Allah ta’ala berfirman:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

Dan Rabbmu berfirman: “Berdoatah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina-dina”. (Qs al-Mukmin/ 40:60)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda:

Doa adalah ibadah (HR. Abu Dawud dan lainnya)

Dan berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala itu sudah menjadi kebiasaan para utusan Allah ‘azza wa jalla. Salah satunya, Allah  ‘azza wa jalla  mengisahkan permohonan doa yang dipanjatkan Nabi Nuh ‘alaihis salam . Allah  subhanahu wa ta’ala berfirman:

كَذَّبَتْ قَبْلَهُمْ قَوْمُ نُوحٍ فَكَذَّبُوا عَبْدَنَا وَقَالُوا مَجْنُونٌ وَازْدُجِرَ – فَدَعَا رَبَّهُ أَنِّي مَغْلُوبٌ فَانتَصِرْ – فَفَتَحْنَا أَبْوَابَ السَّمَاء بِمَاء مُّنْهَمِرٍ

Sebelum mereka, telah mendustakan (pula) kaum Nuh, maka mereka mendustakan hamba Kami (Nuh) dan mengatakan: “Dia seorang gila dan dia sudah pernah diberi ancaman”. Maka dia mengadu kepada Rabbnya: “Bahwasanya aku ini adaiah orang yang dikalahkan, oleh sebab itu tolonglah (aku)”. Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah. (Qs al-Qamar/54:9-11)

Mutharrif rahimahullah sangat kerap menganjurkan orang lain untuk berdoa dan menjelaskan betapa penting peran dan kedudukan doa. la pernah mengatakan: “Aku pernah berpikir mengenai substansi kebaikan. Ternyata kebaikan itu sangat banyak; ada puasa dan shalat. Dan kebaikan-kebaikan itu semua berada di tangan Allah subhanahu wa ta’ala. Apabila engkau tidak dapat memperoleh yang ada di tangan-Nya, kecuali dengan meminta-Nya agar Dia  subhanahu wa ta’ala memberimu, maka berarti substansi kebaikan adalah berdoa.”[4]

Ulama yang dikenal dengan sebutan Abu ‘Abdillah rahimahullah ini juga mengarahkan agar meminta doa dari orang yang sedang sakit. Sebab seperti dikalakan Imam Ibnu Katsir rahimahullah,[5] orang saklt telah sadar dari kelalaiamya melalul sakit yang menyerang. Doanya mustajab karena ketergantungan hatinya kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Katanya: “Jika kalian menjenguk orang sakit, kalau bisa minta doa darinya. Karena ia telah tersadarkan (oleh penyakitnya, red)”.[6]

Terdapat banyak doa yang disampaikan Mutharrif [7]. Bahkan seorang Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pun sempat memuji salah satu doa Mutharrif rahimahullah sebagai doa yang terbaik. Doa yang dimaksud adalah:

“Ya Allah, janganlah Engkau jadikan aku pelajaran bagi orang lain (atas perbuatan buruk yang aku lakukan, red), jangan Engkau jadikan orang lain lebih berbahagia daripadaku dengan ilmu yang Engkau ajarkan kepadaku”.[8]

Sisi lain dari Ulama besar dari generasi Tabi’in ini yang masih berkaitan dengan perkara doa, adalah bahwa dia juga dikenal sebagai mujabud da’wah (orang yang doanya dikabulkan oleh Allah  subhanahu wa ta’ala ).

Sehubungan dengan ini, Imam adz-Dzahabi rahimahullah dalam pujiannya bagi Mutharrif berkata: “(Mutharrif) seorang ahli fikih, tekun ibadah dan dikenal dengan doa yang terkabulkan”.[9]

Imam Ibnu Katstr rahimahullah berkata: “Beliau tergolong tokoh besar dari generasi Tabi’in, murid dekat ‘lmran bin Hushain  rahimahullah dan dikenal doanya terkabulkan…”[10]

Salah satu riwayat yang mengisahkan keistimewaan tersebut, Humaid bin Hilal rahimahullah menceritakan : “Telah terjadi perselisihan antara Mutharrif dengan salah seorang dari kaumnya. Lelaki itu kemudian menyebarkan berita bohong tentang Mutharrif. Maka Mutharrif rahimahullah mengatakan: “Jika engkau benar-benar melakukan kedustaan, semoga Allah  subhanahu wa ta’ala  menyegerakan kematianmu”. Lelaki itu pun mati seketika…”[11]

Penutup

Keistimewaan yang dicapai oleh Mutharrif bin ‘Abdillah bin Sikhkhir rahimahullah pastilah tidak lepas dari amal shaleh beliau yang terpancar dari ilmu para Sahabat Rasulullah radhiyallahu ‘anhum  yang menjadi guru-guru beliau. Kemuliaan yang tidak diberikan Allah  subhanahu wa ta’ala  kepada sembarang orang. Kematangan akal juga menjadi sumber popularitas Mutharrif. Tokoh-tokoh seperti inilah yang sepantasnya menjadi teladan bagi kaum Muslimin. Wallahu a’lam.

Referensi:

–   Fiqhul Ad’iyah, DR ‘Abdur Razzaq al-Badr.

–   Min Siyari Ulama Salaf ‘lndal Fitan,Mutharrif bin Abdillah Sikhkhir Namudzajan, DR. ‘Ali bin ‘Abdullah ash-Shayyah, Madarul Wathan.

sumber: Baituna edisi 02/tahun XIII/Jumadil Awwal 1430 H, hal. 8-9


[1] Ikmal Tahdzibil Kamal (11/229)

[2] 3/478

[3] Siyar A’lamin Nubala (4/189)

[4] az-Zuhd, Imam Ahmad hlm. 241

[5] al-Bidayah wan Nihayah (9/70)

[6] Hilyatul Auliya (2/207)

[7] Keterangan ini bukan untuk mengecilkan arti doa-doa yang berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[8] al-Fatawa (14/307)

[9] al-‘lbar Fi Khabari Man Ghabar (1/113)

[10] al-Bidayah wan Nihayah (9/69)

[11] Sanadnya jayyid menurut Ibnu Hajar (al-lshabah: 6/261)