Sejarah masuknya dakwah Islam ke Nusantara adalah melalui jalan perairan di tepi pesisir-pesisir pantai atau hulu sungai, sebagai jalur utama transportasi tatkala itu. Kemudian menyebar luas ke seluruh pelosok dan negeri. Sehingga setiap orang yang hendak meneliti seperti apakah pemahaman yang masuk ke negeri ini pertama kalinya, dia dapat memulai kajiannya dari mereka yang menetap di daerah-daerah pesisir atau kepulauan dan seterusnya.
Semenjak kecil penulis -kebetulan putra salah satu pesisir di Sumatera Barat- selalu melihat orang-orang tua di sana mengaji sifat dua puluh sebagai pelajaran utama dalam aqidah mereka. Kemudian kadang mereka mengatakan, “Fiqh kami fiqh Syafi’i, aqidah kami aqidah Asy’ari, tarekat kami tarekat Naqsyabandi.”
Pemahaman ini merupakan pemahaman kebanyakan masyarakat kita tentang agama yang mereka anut, hanya saja dengan bertambahnya usia dan meningkatnya pelajaran, tentu setiap kita perlu mempertanyakan apa yang selama ini dipahami oleh orang-orang tua dan dibesarkan dengannya generasi muda kita. Karena hal itu menyangkut kebahagiaan di dunia dan keselamatan di akhirat. Benarkah Asy’ariyah sebagai kelompok Ahlus Sunnah wal Jama’ah? Benarkah pemahaman Asy’ariyah itu pemahaman “Firqah Najiyah” -yang disebut-sebut oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai satu-satunya kelompok yang selamat-?!
Hal ini mengingatkan penulis kepada sebuah kejadian yaitu pengikut Asy’ariyah ‘meradang’ hebat sewaktu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menulis tentang aqidah Ahlus Sunnah dalam kitab al-Aqidah al-Wasithiyahnya, awal ucapan beliau, “Inilah aqidah Firqah Najiyah….” Lalu mereka adakanlah sebuah majelis dengan mendatangkan para qadhi dan ulama Asy’ariyah untuk mendebat beliau. Sehingga Syaikhul Islam terpaksa harus mendatangkan 50 kitab dari kitab imam yang empat, ahlul hadits, tasawuf, dan ahlul kalam. Beliau berkomentar, “Aku telah beri waktu tiga tahun kepada setiap orang yang menyelisihiku (dalam kitab ini), seandainya mereka menemukan ada satu huruf yang bertentangan dengan perkataan tiga generasi terbaik Islam, maka aku siap untuk kembali.” Beliau melanjutkan, “Maka tidak ada seorang pun yang mendapatkan ucapanku bertentangan dengan salah satu ulama Islam maupun pendahulu mereka, padahal mereka telah mencarinya di khazanah dan perpustakaan negeri.” (Lihat Majmu’ Fatawa 3/169, 217)
Apakah Asy’ariyah dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu?
“Asy’ariyah” yang juga dikenal dengan “Asya’iroh” adalah penisbatan sebuah pemahaman dalam aqidah kepada Imam Abul Hasan al-Asy’ari[1], hanya mereka berpegang pada pemahaman Abul Hasan pada fase kedua kehidupannya, yang dikenal pada saat itu beliau menganut pemahaman Kullabiyah. Alangkah baiknya bagi mereka menapak jejak Abul Hasan yang terakhir dalam hidupnya!! Yaitu beliau kembali kepada ajaran salaf. Karena sebagaimana yang telah diketahui bahwa kehidupan beliau melalui tiga fase:
a. Fase dengan membawa pemahaman Mu’tazilah, karena kebetulan gurunya dalam pemahaman ini adalah bapak tirinya yang bernama Abu Ali al-Jubba’i, hal ini berlangsung hingga beliau berusia 40 tahun. (Tabyin Kadzibil Muftari, hal. 40)
b. Fase dengan membawa pemahaman Kullabiyah diambil dari nama pendirinya, Abdullah bin Sa’id bin Kullab al-Qaththan (240 H). Pemahaman inilah yang menjadi tonggak ajaran dan pokok pemahaman mereka dalam madzhab, pemahaman ini dituangkan oleh beliau dalam kitab al-Luma’ fir Radd ‘ala Ahliz Zaighi wal Bida’.
c. Fase dengan membawa pemahaman salaf (Ahlus Sunnah wal Jama’ah), pemahaman yang mana beliau wafat dengannya, beliau tuangkan dalam karangan beliau yaitu al-Ibanah, Risalah ila Ahli Tsaghar dan Maqalat Islamiyyin
Sedangkan istilah “Ahlus Sunnah wal Jama’ ah” mempunyai dua kata, “Sunnah” dan ” Jama’ ah” . Sunnah secara bahasa adalah jalan atau gaya hidup, sebagian mengaitkannya dengan kebaikan[2], Dan secara istilah adalah jalan hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang diterangkan dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya serta jalan para sahabat yang telah mereka sepakati.
Jama’ ah artinya secara bahasa mengumpulkan atau perkumpulan. Sedangkan secara istilah, tidak lepas dari enam makna:
(1) sawadul a’ zham/ kelompok mayoritas[3],
(2) kumpulan ulama mujtahid,
(3) para sahabat secara khusus,
(4) umat Islam jika sepakat dalam sebuah perkara,
(5) umat Islam jika bersatu dalam sebuah kepemimpinan,
(6) kelompok yang benar. (Lihat Manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ ah wa Manhajul Asya’irah, DR. Khalid bin Abdul Lathif Muhammad Nur, 1/22)
Dari keseluruhan makna tersebut, tidak ada pertentangan bahkan saling menguatkan, karena jama’ ah yang dimaksud ialah para sahabat, karena merekalah kelompok yang berada di atas kebenaran, kelompok yang terbanyak.
Maka Ahlus Sunnah wal Jama’ ah secara singkat adalah mereka yang berpegang teguh dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti jama’ ah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang yang mengikuti mereka dengan baik.
Asy’ariyah sepakat dalam definisi Ahlus Sunnah di atas, dalam kitab mereka Jauharah at-Tauhid dikatakan:
Seluruh kebaikan dengan mengikuti salaf (yang terdahulu)
Dan semua keburukan pada bid’ah orang khalaf (yang datang kemudian)
Akan tetapi, benarkah dakwaan Asy’ariyah bahwa pemahaman mereka adalah pemahaman para sahabat dan aqidah mereka adalah aqidah imam yang empat? Di atas perapian, akan kita lihat siapa yang emas dan siapa yang loyang, di pintalan akan ketahuan mana yang sutera dan mana yang benang!
Secara garis besar, penulis menemukan empat belas pokok pemahaman Asy’ariyah yang bertentangan dengan pemahaman Ahlus Sunnah. Di antaranya:
(1) mashdar talaqqi,
(2) sifat wujud Alloh Subhanahu wa Ta’ala,
(3) tauhid,
(4) iman,
(5) al-Qurvan,
(6) qadar,
(7) sebab dan musabab,
(8) kenabian,
(9) tahsin dan taqbih,
(10) takwil,
(11) hikmah/illah,
(12) sam’iyat/nash,
(13) takfir,
(14) asma’ dan sifat.
Di bawah ini, penulis akan sebutkan tujuh ushul (pokok) pemahaman tersebut dengan sedikit penjelasan singkat lantaran keterbatasan halaman. Siapa saja yang ingin mendapatkan penjelasan lebih mendalam, penulis persilahkan membaca kitab-kitab bantahan ulama salaf terhadap Asy’ariyah, terutama kitab-kitab Syaikhul Islam dan murid beliau, Ibnul Qayyim rahimahumallah.
1. Mashdar Talaqqi (sumber dasar pengambilan)[4]
Pertama: Sebagaimana yang kita ketahui bahwa mashdar talaqqi Ahlus Sunnah adalah al-Qur’an dan Sunnah, ijma’, dan qiyas. Berbeda dengan Asy’ariyah, sumber pengambilan mereka adalah akal.
Hal ini diperkuat oleh pendapat para tokoh madzhab seperti al-Juwaini, ar-Razi, al-Ghazali, al-Amidi, dan seluruh ulama mereka yang mengatakan jika akal dan nash saling bertentangan, maka yang menang adalah akal. Bahkan sebagian mereka mengatakan bahwa mengambil zhahir Kitab dan Sunnah termasuk dari pokok paham kekufuran. (Sebagaimana disebutkan as-Sanusi (885 H) dalam Syarhul Kubra dan ar-Razi dalam Asasut Taqdis hal.172)
Kedua : Bahwa nash-nash dalam Kitab dan Sunnah bersifat zhanniyah dalalah (tidak mutlak mengandung kebenaran) dengan tidak memberi keyakinan, yang qath’i (mendatangkan keyakinan) adalah akal. (Ma’alim Ushuliddin, Fakhruddin ar-Razi, hal. 24)
Ketiga: Mereka memandang bahwa hadits tidak dapat dijadikan pegangan dalam aqidah. Jika terjadi pertentangan dengan akal, yang mutawatir harus ditakwil, sedangkan yang ahad tidak perlu digubris. Sampai-sampai imam mereka, ar-Razi, menyebutkan bahwa semua riwayat hadits dari para sahabat adalah zhanniyah (adanya kemungkinan salah), tidak berbeda dalam hal kejujuran mereka maupun dalam hafalan. Dan juga mereka mengatakan bahwa dalam kitab Shahihain (Bukhari-Muslim) ada hadits-hadits yang dipalsukan oleh orang-orang zindiq.
Keempat: Kitab-kitab aqidah mereka senantiasa mereka penuhi dengan perkataan para filosof, orang-orang bijak -yang sebenarnya bukan bijak- atau yang lainnya. Bersamaan dengan itu, kitab-kitab aqidah tersebut kosong dari ayat-ayat Alloh apalagi sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kelima: Sumber pengambilan kalangan tasawuf Asy’ariyah seperti al-Ghazali dan Hami lebih mendahulukan kasyaf (pembukaan tabir alam khayal) dan zauq (perasaan jiwa) serta takwil nash. Bahkan mereka menshahihkan dan melemahkan hadits menurut zauq dan kasyaf tersebut, dan mereka menyebutnya “ilmu laduni”.
2. Wujud Alloh Subhanahu wa Ta’ala
Menurut salaf, keberadaan Alloh merupakan hal yang fithri, dalil tentang hal itu telah terpatri pada alam, jiwa, dan wahyu. Pada setiap sesuatu ada bukti tentang wujud Alloh Subhanahu wa Ta’ala.
Sedangkan Asy’ariyah hanya mempunyai satu-satunya alasan tentang wujud Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yaitu “huduts” (baru) dan “qidam” (terdahulu). Menurut mereka, bukti bahwa Alloh Subhanahu wa Ta’ala itu wujud (ada, -adm) adalah bahwa semua makhluk bersifat baru dan setiap yang baru mesti ada yang terdahulu.
Kekhususan Dzat yang terdahulu bahwa semua sifat-sifat-Nya tidak boleh sama (baik lafazh maupun makna, Pen.) dengan sifat makhluk. Maka Alloh Subhanahu wa Ta’ala -menurut mereka- bukanlah jauhar (badan halus), tidak jisim (badan kasar), tidak mempunyai arah, dan tidak puny a tempat … dan seterusnya[5] dari istilah-istilah bid’ah yang tidak pernah Alloh sifati diri-Nya dengan penamaan tersebut, akan tetapi pemahaman mereka hanya sebagai bentuk taqlid terhadap guru-guru mereka dari kalangan filosof dan ahli kalam. Untuk memastikannya, silakan lihat permulaan semua kitab aqidah mereka.
3. Tauhid
Tauhid menurut Ahlus Sunnah terbagi tiga, yaitu: tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid asma’ dan sifat. Sedangkan menurut Asy’ariyah, tauhid adalah menafikan sekutu atau bilangan serta menafikan bagian dan susunan.
Dari makna ini, mereka menafsirkan kata “ilah” dengan al-Khaliq[6] (Sang Pencipta) atau Dzat yang mampu berbuat. Dan mereka pun mengingkari sebagian sifat seperti wajah, tangan, mata, (yang Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mensifatkan-Nya dengan hal itu semua, -adm) karena menurut mereka hal itu menunjukkan susunan dan bagian.
Sedangkan tauhid hakiki yang menjadi lawan syirik, maka sama sekali tidak ada dalam kitab aqidah mereka. Penulis tidak tahu di mana mereka letakkan pembahasan tersebut, apakah di pembahasan furu’? Jelas ini tidak akan ada, ataukah mereka meninggalkannya? Ini yang (belum, –adm) bisa dipastikan.
Menurut salaf, yang wajib diketahui pertama kali adalah tauhid, sedangkan Asy’ariyah menyatakan bahwa kewajiban pertama adalah nazhar, meneliti dan menganalisa dengan akal.
Mereka mengingkari ma’rifat kepada Alloh –Subhanahu wa Ta’ala– dengan fithrah. Mereka berkata, “Barangsiapa beriman kepada Alloh melalui jalan selain jalan analisa maka dia taqlid, telah berbuat maksiat, bahkan telah jatuh kafir.”
Point inilah yang dibantah oleh Ibnu Hajar karena konsekuensi dari ungkapan tersebut ialah pengkafiran semua orang awam, bahkan semua sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena mereka semua mendapatkan iman (bukan dengan jalan analisa, Red.).[7]
4. Iman
Iman menurut Ahlus Sunnah adalah pengakuan hati, ucapan lisan, dan perbuatan anggota badan, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan maksiat. Sedangkan menurut Asy’ariyah cukup dengan pembenaran hati, tidak bertambah dan berkurang. Ini menyerupai ucapan Murji”ah Jahmiyah, sebagaimana yang disebut pada semua pembahasan aqidah mereka.[8]
5.Al-Qur‘an (Kalamullah)
Madzhab Ahlus Sunnah tentang al-Qur‘an menyatakan bahwa ia adalah “Kalamullah” bukan makhluk, bahwasanya al-Qur’an itu firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala, Dia (Allah, -adm) sendiri yang berbicara terdengar oleh malaikat-Nya, didengar oleh Jibril ‘alaihis salaam, didengar oleh Musa ‘alaihis salaam, dan akan didengar semua makhluk nantinya pada hari kiamat. Sedangkan madzhab Asy’ariyah merupakan kombinasi antara pemahaman Ahlus Sunnah dengan pemahaman Mu’tazilah yang mereka mengatakan al-Qur’an itu makhluk.
Asy’ariyah membedakan antara lafazh dengan makna. Kalam yang mereka tetapkan adalah makna dalam diri-Nya, bukan berupa suara dan bukan pula huruf. Adapun kitab-kitab yang diturunkan termasuk al-Qur‘an bukanlah kalam-Nya, akan tetapi dia tidak lebih dari sebuah makna yang terpahami oleh Jibril ‘alaihis salaam dan terpisah dari Dzat-Nya, jika diungkapkan dalam bahasa Ibrani jadilah ia Taurat, jika berbahasa Suryani jadilah dia Injil, dan jika berbahasa Arab jadilah ia al-Qur’an. Semuanya makhluk, sedangkan penyebutannya dengan Kalamullah hanya sebatas majaz/kiasan.[9]
6. Qadha dan qadar
Asy’ariyah dalam qadar berusaha mengkombinasikan antara pemahaman Jabariyah[10]dan Qadariyah. Mereka menemukan sebuah teori yang mereka beri nama dengan “kasab”, yang mana mereka sendiri bingung menjelaskan teori tersebut, ujung-ujung teori tersebut menuju pemahaman Jabariyah tulen.
Berkata ar-Razi menjelaskan teori tersebut, “Sesungguhnya manusia terpaksa dalam bentuk memilih.” al-Baghdadi memberi permisalan tentang teori tersebut umpama seorang hamba dengan Alloh ‘Azza wa Jalla, dua orang yang membawa batu yang besar, yang saru lemah dan yang satu lagi kuat, sebenarnya yang kuatlah yang membawa, sedangkan si lemah juga tidak bisa lepas dari penyebutan membawa. (al-Inshaf hal. 45-46, Ushuluddin hal. 133, dan lainnya)
7. Sebab dan musabab
Asy’ariyah mengingkari bahwa sesuatu dapat mempengaruhi sesuatu, seperti api dapat membakar, pisau dapat melukai, dan seterusnya. Bahkan mereka mengkafirkan atau membid’ahkan setiap orang yang menyelisihi mereka dalam pemahaman ini.
Mereka mengatakan, “Barangsiapa mengatakan bahwa api sifatnya dapat membakar atau apilah penyebab terbakar, maka dia kafir atau musyrik karena tidak ada yang berbuat kecuali Alloh Subhanahu wa Ta’ala.” Menurut mereka lagi, barangsiapa meyakini bahwa api dapat membakar karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala memberikan kekuatan untuk membakar, maka dia mubtadi’ sesat. (Lihat Syifa’ul ‘Alil, Ibnul Qayyim, 259-261, dan juga pembahasan mereka tentang qadar)
Setelah penjelasan singkat ini, apa yang tersisa bagi Asy’ariyah dalam penisbatan mereka kepada madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah?! Dalam semua bab aqidah, Asy’ariyah selalu merriposisikan dirinya sebagai oposisi Ahlus Sunnah, sebagai bentuk pembelaan mereka terhadap filsafat dan ilmu kalam.
Penulis tidak akan menyembunyikan sesuatu dalam hal ini, bahwa memang ada persamaan Ahlus Sunnah terhadap madzhab Asy’ariyah, yaitu pembahasan tentang para sahabat dan pembahasan imamah (kepemimpinan), inilah satu-satunya bab yang Asy’ariyah sepakat dengan Ahlus Sunnah.
Di saat bersamaan, ulama Ahlus Sunnah mengakui juga bahwa madzhab Asy’ariyah kelompok yang terdekat kepada Ahlus Sunnah dari kelompok yang binasa lainnya.
Pendapat Ulama Islam dari Kalangan Madzhab yang Empat Tentang Asy’ariyah
1. Ulama Malikiyah
Diriwayatkan dari Ibnu Abdil Barr al-Maliki yang bergelar “Hafizh Maghrib” (Alim dari Maghrib/Marokko) dari faqih Malikiyah Ibnu Khuwaiz Mindaz dengan sanadnya, bahwa beliau berkata dalam bab Syahadat -ketika menjelaskan perkataan Imam Malik “Tidak boleh persaksian ahlul bid’ah dan hawa“-, “Ahlul hawa menurut Malik dan seluruh penganutnya ialah ahlul kalam. Maka setiap ahli kalam adalah ahlul ahwa’ dan dan bid’ah, baik dia bermadzhabkan Asy’ariyah maupun bukan, tidak diterima persaksiannya dalam Islam selama-lamanya, diboikot dan dihukum atas perlakuan bid’ahnya, jika masih berlanjut diminta bertaubat (kalau tidak maka dibunuh, Pen.).” (Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi, Ibnu Abdil Barr, 2/117, tahqiq Utsman Muhammad Utsman)
2. Ulama Syafi’iyah
Berkata Imam Abul Abbas bin Juraij yang bergelar “Syafi’i Kedua” -kebetulan beliau semasa dengan al-Asy’ari-, “Kami tidak setuju dengan takwil Mu’tazilah, Asy’ariyah, Jahmiyah, Mulhidah, Mujassimah, Musyabbihah, Karamiyah, Mukayyifah. Akan tetapi kami menerimanya tanpa takwil dan beriman denganhya tanpa tamtsil”[11]
Berkata Imam Abul Hasan al-Karji dari ulama Syafi’iyah pada abad kelima, “Para ulama Syafi’iyah selalu tidak mau jika mereka dinisbatkan kepada Asy’ariyah. Bahkan mereka berlepas diri dari semua pemahaman madzhab Asy’ari, melarang pengikut dan para sahabat mereka mendekat kepada madzhab tersebut, sesuai dengan berita yang aku terima dari beberapa ulama dan para imam.” Kemudian beliau mencontohkan seperti syaikh Syafi’iyah pada masanya, Imam Abu Hamid al-Isfirayini -yang bergelar dengan “Syafi’i Ketiga“-, seraya berkata, “Sudah dimaklumi bersama tegasnya Syaikh (al-Isfirayini) terhadap ahli kalam, sehingga beliau memilah antara ushul fiqh Syafi’i dengan ushul Asy’ari. Sikap yang sama diperlihatkan pula oleh Abu Ishaq asy-Syirazi dalam . kedua kitab beliau, al-Luma’ dan at-Tabshirah. Sampai-sampai jika ada persamaan antara perkataan Asy’ari dengan perkataan ulama Syafi’iyah, beliau tetap bedakan dan berkata,’Perkataan ini adalah pendapat para sahabat kami dan dengannya berpendapatlah Asy’ariyah.’ Beliau tidak pernah menggolongkan Asy’ariyah ke dalam pengikut Syafi’i. Hal itu dikarenakan benci kepada ushul fiqh mereka. Bagaimana pula sikap mereka terhadap ajaran mereka?!” (Tis’iniya, Ibnu Taimiyah, 238-239)
3. Ulama Hanafiyah
Sebagaimana diketahui bahwa penulis kitab Thahawiyah, Imam Thahawi dan pensyarahnya yaitu Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi, keduanya penganut madzhab Hanafi. Apalagi Imam Thahawi semasa pula dengan al-Asy’ari. Beliau menulis kitab tersebut untuk menerangkan aqidah Imam Abu Hanifah. Mereka menukilkan dari Imam Abu Hanifah bahwa beliau tegas-tegas menyatakan bahwa seseorang yang berkata Alloh tidak di atas ‘Arsy atau mengambil sikap diam tentang itu, maka dia kafir. Lantaran itulah Abu Yusuf, murid Imam Abu Hanifah, telah mengkafirkan Bisyr al-Mirrisy -tokoh ajaran Mu’tazilah-. Sebagaimana diketahui pula, Asy’ariyah mengingkari bahwa Alloh ‘Azza wa Jalla di atas ‘arsy dan bahwasanya pokok pemahaman Asy’ariyah diambil dari Bisyr al-Mirrisy.
4. Ulama Hanabilah
Tidak ada yang tidak mengetahui sikap ulama Hanabilah terhadap madzhab Asy’ariyah semenjak Imam Ahmad membid’ahkan Ibnu Kullab sebagai pendiri yang sebenarnya madzhab Asy’ariyah. Semenjak itu pula, antara Hanabilah dengan madzhab Asy’ariyah selalu dalam peperangan yang berkepanjangan.
Demikianlah nukilan singkat pendapat ulama empat madzhab terhadap Asy’ariyah. Terlebih lagi, jika diperdengarkan nukilan dari ulama jarh wa ta’dil dari kalangan ulama hadits tentang madzhab Asy’ariyah, tentu akan lebih keras dan tegas lagi. Sebagaimana diketahui, madzhab Asy’ariyah secara umum menolak hadits ahad, dan hadits-hadits di Shahihain -kata mereka- sebagiannya dipalsukan oleh orang-orang zindiq dan seterusnya dari bencana pemahaman rusak mereka.
Kenyataan yang Tidak Bisa Dipungkiri
Di sini tersebutlah sebuah kenyataan, sehingga yang memungkirinya sama artinya dia memungkiri adanya matahari di siang belong. Yaitu pengakuan kembali, kebingungan, dan taubat ulama-ulama besar Asy’ariyah dari pemahaman dan aqidah yang selama ini mereka bela. Di antara mereka: Abul Hasan al-Asy’ari sebagai pendiri madzhab, al-Juwaini, al-Ghazali, asy-Syihristani, dan Fakhrur Razi. Jika mereka memang berada di atas aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ ah, maka dari apakah mereka bertaubat?! Dan dari aqidah manakah mereka kembali?!
Kesimpulan
Dari pembahasan singkat ini dapat kita pahami, dakwaan Asy’ariyah bahwa mereka adalah Ahlus Sunnah merupakan dakwaan tanpa bukti. Akan tetapi bukan berarti pula mereka keluar dari Islam. Yang pasti, mereka adalah salah satu dari sekian banyak kelompok yang disebut oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak selamat dengan aqidah dan pemahaman mereka.
Dengan demikan, semakin nyata bagi kita semua bahwa jalan kebenaran dan keselamatan adalah jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pemahaman para salafush shalih.
Seluruh kebaikan dengan mengikuti Salaf (yang terdahulu)
Dan semua keburukan pada bid’ah orang khalaf (yang datang kemudian).
Sumber:
Majalah AL FURQON edisi 7 tahun V/ Shafar 1427 H, hlm. 23-27
[1] Al-Milal wan Nihal (1/94) asy-Syihristani.
[2] An-Nihayah fi Gharibil Hadits (2/409) Ibnul Atsir dan Tahzibul Lughah (12/298-299) Azhari.
[3] Makna ini diambil dari beberapa riwayat yang tidak lepas dari kelemahan.
[4] Silahkan lihat tentang mashdar talaqqi mereka dalam Dar’u Ta’arudh al-‘Aql wan Naql oleh Ibnu Taimyah, Asasut Taqdis (hal. 168-173) oleh ar-Razi, asy-Syamil (hal. 561) oleh al-Juwaini, Syarhul Kubra (hal. 502) oleh as-Sanusi.
[5] Karena itu sifat-sifat makhluk (hadits). Menurut salaf, sifat Alloh Subhanahu wa Ta’ala ialah apa yang Dia tetapkan dalam syari’at-Nya sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya tanpa menakwil, menyerupakan, membayangkan, dan seterusnya sebagaimana yang diterangkan dalam kitab aqidah.
[6] Arti yang benar dalam kalimat yang agung tersebut adalah “Tiada Dzat yung berhak diibadahi selain Alloh –Subhanahu wa Ta’ala- “. Arti ini mencakup dua tauhid, yaitu rububiyah dan uluhiyah. Sedangkan tafsiran Asy’ariyah yang mengartikan bahwa “Tidak ada Dzat yang mencipta melainkan Alloh –Subhanahu wa Ta’ala-“, hanya sebatas pengakuan terhadap tauhid rububiyah dan belum masuk pengakuan terhadap. tauhid uluhiyah. Tafsiran Asy’ariyah telah diakui oleh musyrik Quraisy, akan tetapi tidak membuat mereka menjadi rnuslim.
[7] Silahkan lihat pembahasan ini, al-Inshaf (hal. 22) al-Baqillani, asy-Syamil (hal. 120), Fathul Bari (3/357, 361), Dar”u Ta’arudh
al-‘Aql wan Naql (juz 7,8,dan 9).
[8] Silahkan lihat al-Irsyad (hal. 397), al-Inshaf (hal. 55) al-Baqillani, dan juga al-Iman Ibnu Taimiyah -hampir keseluruhan kitab
tersebut bantahan terhadap mereka-.
[9] Silahkan lihat pemahaman mereka tentang al-Quran; al-Inshaf (hal. 96-97), Ushuluddin ( hal. 107), Syarh al-Bajuri (hal. 64-66).
[10] Jabariyah adalah pemahaman bahwa manusia tidak mempunyai ikhtiar, dia bagaikan kapas yang diterbangkan angin. Kebalikannya, pemahaman Qadariyah.
[11] Ibnu Juraij wafat 306 H, lihat Siyar A’lam an-Nubala” (14/201). Kelihatannya, beliau telah meninggal sebelum kembalinya Abul Hasan al-Asy’ari kepada madzhab salaf. Silahkan lihat Ijtima’ Juyusy Islamiyah (hal. 62).
Nama ulama besar pengikut Asy’Ariyah jahilkah mereka tentang ilmu hingga mereka ikut Asy’ariyah….coba pikirkan mana alim anda dari pada mereka ?
ini nama-nama nya :
Imam Abu Hasan Al-Bahilii,Imam Abu ishaq Al-Isfarainii, Al-Hafidz Abu Nu’aim AL-Asbahani, Qadhi Abdul Wahab Al-Maliki. Imam Abu Muhammad Al-Juwaini, dan outranya Abu Ma’alii Imam haramain AL-Juwaini, Abu Manshur At-Tamimi Al-Baghdadi, Al- Hafidz Al-Isma’ili, Al-Hafidz Al-Baihaqi, AL-Hafidz Al-Daruqutni, Al-Hafidz AL-Khatib AL-Baghdadi, Imam Abul Qosim AL-Qusyairi,dan putranya Abu Nashr,Imam Abu Ishaq Asy- Syairazi, Nasr Al-Maqdisi, Al-Farawi, Imam Abul Wafa’ ibn Uqil Al-Hambali, Qadhi Qudhat Ad-Damaghani Al-Hanafi, Abul Walid Al-baji Al-Malik, Imam Ass-Sayid Ahmad Ar-Rifa’I,Al-Hafidz Abul Qasim Ibn Asakir, Ibn Sam’ani, Al- hafidz As-Salafi, Qadhi Iyadh, Imam An-Nawawi, Imam Fakhrudin Ar-Razi, Imam Iz Ibn Abdis Salam, Abu Umar, Imam Ibn Hajib Al-Maliki, Al-Hafidz Ibn Daqiqil ied, Imam llaudin Al-Baji, Qadhi Qudhat As- Subki, Al-Hafidz Alaai, AL-Hafidz Zainudin AL-Iraqi,dan putranya Al-Hafidz Waliyudin, Khatimatul Hufadz Ibn Hajar Al-Asqolani, Khatimatul LughawiyinAl-hafidz murtadha Az-Zubaidi Al-Hanafi, Imam Zakariya AL-Anshori, Imam Bahaudin Ar-Ruwas, Mufti makah Ahmad Zaini Dahlan, Musnadul Hindi Waliyullah Ad-Dahlawi, Mufti Mesir Imam Muhammad Ulaisyi Al-Maliki, SyaikhAl-Jami’ Al-Azhar Abdullah Az-Zarqawi, Imam Abdul Fatih Fathullah mufti Beirut,Imam Abdul basist Al-fakhuri Mufti Beirut, Imam Mustafa Naja Mufti Beirut, Imam Abu Muhammad Al-Malaibari Al-Hindi, Qadhi Abu bakar Al-baqilani, AL-Hafidz IbnFaruk, Imam Al-Ghozali, Imam Abul fatah Asy-Syahrantani, Imam Abu Bakar Asy-Syasyi Al-Qofal,Abu Ali Ad-Diqaqi An-Naisaburi, Al-Hakim An- Naisaburi Sohibul Mustadrak, Imam Ibn Alan As-Shadiqi Asy-Syafi’I, Imam Abu Abdullah Muhammad As-Sanusi dll. Semua pemilik nama-nama besar di atas adalah para pengikutImam Abul Hasan Al-Asy’ari dalam aqidahnya, yang para ulama menyebut aqidah Asy’ariyah dengan Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Kalau menurut kalian Wahabiyyun bahwa Al-Hafidz Ibnul Jauzi, Imam Ibn Hibban, Al-Hafidz Ibn Rajab Al-Hambali, Al-Hafidz Al-Isma’ili, Al-Hafidz Al-Baihaqi, Al-Hafidz Al- Daruqutni, Al-Hafidz Al-Khatib Al-Baghdadi, Al-Hafidz As-Salafi, Qadhi Iyadh, Imam An-Nawawi,Al-Hafidz Alaai, Al Hafidz Zainudin Al-Iraqi, dan putranya Al-Hafidz Waliyudin, Khatimatul Hufadz Ibn Hajar Al-Asqolani dll, bukan termasul ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka siapakah yang kalian maksud dengan Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu?
Mungkin kalian akan mengatakan bahwa Albani, Utsaimin, Ibn Baz, Al-Jazairi, Al-Fauzan,Rabi Ibn Hadi dll dari kalangan ulama Neo Salafi adalah Ahli Hadis dan merekalah yg paling layak untuk menyandang gelar pewaris satu-satunya ahlus sunnah wal jama’ah !
Kami ingin bertanya apakah ada di antara ulama kalian seperti Albani, Utsaimin, Ibn Baz, Al-Jazairi, Al-fauzan, Rabi Ibn Hadi dll yang punya karya yang lebih baik dari kitab Fathul Bari-nya Ibn Hajar, atau kitab sunan-nya Imam Al-Hafidz Al-Baihaqi, Al-Hafidz Al-Daruqutni, atau karya-karya lain dari para Hufadz Hadis yang sebenarnya (bukan seperti yang sering diaku-aku oleh Salafi) seperti Al-Hafidz Al-Khatib Al-Baghdadi, Al-Hafidz As-Salafi, Qadhi Iyadh, Imam An-Nawawi dengan Syarh Shohih Muslim-nya, Al-Hafidz Alaai, Al-Hafidz Zainudin Al-Iraqi dll !?
Siapa yang mengatakan bahwa ulama-ulama yang anda sebutkan di atas bukan termasuk ulama ahlis Sunnah? Dimana referensi yg menyebutkan hal tersebut dari kalangan -yg anda sebut sbg- wahabiyun? Justru sampai saat ini, sebagian besar karya-karya mereka menjadi rujukan ilmiah bagi kami, orang-orang yang anda sebut wahabiyun.
Adapun bila memang ada pd mereka dijumpai ketergelinciran pada masalah aqidah Asma’ wa Sifat, itu tidak harus berkonsekuensi mereka dikeluarkan dari lingkaran ahlis Sunnah, mengingat pembelaan mereka secara besar-besaran terhadap as-Sunnah di zamannya dan permusuhan mereka terhadap kalangan ahlul bid’ah. Wallaahu a’lam
Sdr. Taufiqur Rahman ngomong tanpa bukti. Kami bukan Wahabiyyun, kalianlah yang memanggil kami demikian. Wahabi yang anda maksud adalah Abdul Wahab bin Abdurrahman bin Rustum wafat 211 H -seorang khawarij tulen dan sesat. Bukan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab wafat 1206 H -seorang penegak tauhid di zamannya. Jika anda jeli, perhatikan namanya. Mestinya anda memanggil kami dengan Muhammadiyah bukan Wahabiyah. Namun Muhammad bin Abdul Wahhab lebih senang menamakan gerakannya dengan Muwahiddin. Gelar Wahabi adalah gelar dari orang-orang kafir yang memusuhi dakwah beliau sehingga orang-orang kafir penjajah tak mampu menjajah Saudi saat itu, karena pasukan jihad yang dibentuk oleh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Wallaahu a’lam.