Siapakah Ahlus Sunnah wal Jama’ah?


oleh:
Ustadz Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah
hafidzahullah

Di antara nikmat terbesar yang Alloh anugerahkan kepada umat ini ialah disempurnakan-Nya agama ini, sebagaimana dalam firman-Nya:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً

Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, telah Aku cukupkan atas kalian nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam itu jadi agama bagi kalian. (QS. al-Maidah [5]: 3)

Tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan dunia ini melainkan meninggalkan kaum muslimin dalam jalan yang terang benderang, malamnya seperti siangnya.

Adalah umat ini, dalam keadaan dirahmati Alloh pada generasi awalnya. Alloh jaga mereka dari berbagai macam hawa nafsu dan penyelewengan. Me­rekaselalu istiqamah dalam ketaatan kepada Alloh dan Rasul-Nya.

Mereka adalah para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang tidak dikenal pada diri mereka kecuali ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kepada Kitab yang diturunkan Alloh kepada beliau.

Demikian juga, jejak mereka diikuti oleh generasi penerus mereka dari para tabi’in dan para imam yang berada di atas petunjuk -semogaAlloh meridhai mereka semuanya-.

Kemudian datanglah sesudah me­reka generasi-generasi belakangan yang tidak merasa cukup dengan wahyu dan syari’at Alloh. Mereka gunakan akal untuk mengoreksi wahyu dari Alloh, Dzat Yang Maha Mengetahui. Mereka cerai-beraikan umat menjadi kelompok-kelompok sempalan yang masing-masing me­rasa lebih benar dari kelompok yang lainnya, dalam keadaan masing-masing taqlid kepada akal-akal mereka yang dangkal dan pemahaman-pemahaman mereka yang sempit.

Tidak henti-hentinya ahlul bida’ wal ahwa’ menyebarluaskan kesesatan mereka kepada manusia. Mereka sebarkan pemikiran mereka dengan segala cara. Tidak segan-segan mereka menampakkan kepada umat bahwa merekalah ahlul haq. Bahkan banyak dari mereka yang mengklaim diri me­rekalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah!

Dari sinilah, dibutuhkan pengertian yang benar terhadap mafhum Ahlus Sunnah. Sehingga tidak masuk kepadanya yang bukan Ahlus Sunnah. Demikian juga, agar tidak dikeluarkan darinya orang-orang yang termasuk di dalamnya.

Definisi Sunnah Secara Bahasa

Ahlus Sunnah adalah setiap orang yang mengikuti sunnah. Dan sunnah secara bahasa ialah الطريقة  (jalan), yang baik maupun yang jelek. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda:

Barangsiapa membuat sunnah yang baik dalam Islam maka dia mendapat pahala dari sunnah tersebut dan pahala orang yang mengamalkannya sesudahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa membuat sunnah yang jelek dalam Islam maka mendapat dosa dan dosa orang yong mengamalkannya sesudahnyo tanpa mengurangi dosa me­reka sedikitpun. (HR. Muslim 2/705)

Ibnu Manzhur berkata, “Sunnah adalah jalan yang baik atau yang jelek.” (Lisanul Arab 17/89)

Definisi Sunnah Secara Istilah

Adapun sunnah menurut istilah ahli hadits ialah: Apa yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baik berupa perkataan, atau perbuatan, atau persetujuan, atau sifat fisik, atau perilaku, atau perjalanan hidup, sebelum dan sesudah diangkat menjadi nabi. (Taujihun Nazhar ila Ushulil Atsar, Thahir bin Shalih ad-Dimasyqi, hal. 3 dan as-Sunnah wa Makanatuha fit Tasyri‘, as-Siba’i, hal. 47)

Sedangkan dalam istilah ahli ushul, sunnah adalah: Apa yang dinukil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara khusus dari hal-hal yang belum dinashkan dalam al-Qur’an, dia dinashkan dari sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan penjelas dari yang ada dalam al-Kitab. (Lihat al-Muwafaqat, asy-Syathibi, 4/3)

Sunnah diartikan juga sebagai lawan dari bid’ah, di saat menyebarnya bid’ah-bid’ah dan ahwa’. Al-lmam asy-Syathibi berkata, “Dipakai juga (lafazh sunnah) sebagai lawan dari bid’ah. Dikatakan fulan di atas Sun­nah jika dia beramal sesuai dengan apa yang ditempuh oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam … dan dikatakan fulan di atas bid’ah jika dia mengamalkan kebalikannya.” (al-Muwafaqat 4/4)

AI-Hafizh Ibnu Rajab berkata, “Sunnah adalah jalan yang ditempuh. Maka dia (Sunnah) adalah berpegang teguh dengan jalan yang ditempuh oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Khulafa’ur Rasyidin baik berupa keyakinan, perbuatan, dan perkataan. Inilah Sunnah yang sempurna, karena inilah ulama salaf sejak dulu tidak memakai lafazh Sun­nah kecuali meliputi semua hal di atas. Ini diriwayatkan dari al-Hasan, Auza’i, dan Fudhail bin ‘lyadh.” (Jami’ul Ulum wal Hikam hal. 262)

Definisi Ahlus Sunnah

Al-lmam Ibnu Hazm berkata, “Ah­lus Sunnah yang kami sebutkan adalah ahlul haq, dan selain mereka adalah ahli bid’ah. Maka Ahlus Sunnah adalah para sahabat dan setiap yang menempuh ja­lan mereka dari para tabi’in, kemudian ashhabul hadits dan orang-orang yang mengikuti mereka dari para fuqaha, dari generasi ke generasi hingga saat ini. Demikian juga, orang-orang yang mengikuti mereka dari kalangan awam di timur bumi dan baratnya -semoga Alloh merahmati mereka semuanya-” (al-Fishal fil Milal wal Ahwa’ wan Nihal 2/271)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ber­kata, “Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang disepakati oleh as-Sabiqunal Awwalun (orang-orang yang pertama kali masuk Islam, -adm) dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.” (Majmu’ Fatawa 3/375)

Beliau juga berkata, “Barangsiapa mengikuti Kitab, Sunnah, dan ijma’, maka dia termasuk Ahlus Sunnah wal Jama’ah.” (Majmu’ Fatawa 3/346)

Yang keluar dari definisi Ah­lus Sunnah adalah setiap ahli bid’ah dan ahwa’ yang menyeleweng dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang disepakati oleh as-Sabiqunal Awwalun dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka.

Maka tidaklah seorang benar-benar dikatakan Ahlus Sunnah sehingga dia berlepas diri dari semua ahli bid’ah dan pemikiran-pemikiran mereka sebagaimana seorang tidak dikatakan bertauhid hingga dia berlepas diri dari kesyirikan dan para pelakunya.

Al-lmam Abdullah bin Mubarak berkata, “Asal dari 72 bid’ah adalah empat bid’ah. Dari keempat bid’ah ini­lah bercabang menjadi 72 kebid’ahan. (Empat bid’ah ini adalah): Qadariyah, Murji’ah, Syi’ah, dan Khawarij. Ba­rangsiapa mendahulukan Abu Bakr, Urnar, Utsman, dan Ali -atas semua sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak membicarakan para sahabat kecuali dengan kebaikan, maka dia telah lepas dari bid’ah Syi’ah dari awal hingga akhir. Barangsiapa mengatakan: Iman ialah perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang, maka dia telah lepas dari bid’ah Irja’ (Murji’ah) dari awal hingga akhir. Barangsiapa mengatakan sahnya shalat di belakang imam yang baik dan fajir, wajibnya jihad bersama setiap khalifah, tidak rnemandang bolehnya memberontak kepada penguasa dengan pedang, mendo’akan penguasa dengan kebaikan, maka dia telah lepas dari perkataan Khawarij dari awal hingga akhir. Barangsiapa mengatakan: Semua taqdir dari Alloh, yang baik dan yang buruk, Alloh menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki, maka sungguh dia telah lepas dari perkataan Qadariyah dari awal hingga akhir. Maka dialah Ahlus Sunnah.” (Syarhus Sunnah, al-Barbahari, hal. 57)

Ahlus Sunnah Tidak Memiliki Nama dan Julukan Kecuali Islam dan Dilalahnya

Ahlus Sunnah memiliki karakteristik yang berbeda dengan ahli bid’ah dari segi penamaan. Ahlus Sunnah ti­dak memiliki nama dan julukan kecuaii Islam dan dilalah (signifikasi)nya.

Ahlus Sunnah tidak pernah menisbatkan diri kepada seorang pun dan tidak menjadikan suri tauladan dalam segala sesuatu kecuali kepada Rasu­lullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Al-lmam Malik berkata rahimahullah, “Ahlus Sunnah tidak memiliki julukan yang mereka dikenali dengannya, bukan Jahmi, bukan juga Qadari, dan bukan pula Rafidhi.” (al-lntiqa’ fi Fadha’ili Tsalatsatil A’immah Fuqaha‘, Ibnu Abdil Barr, hal. 35)

Para ulama salaf bersungguh-sungguh dalam melarang penamaan dan penisbatan selain Islam, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Barangsiapa mengakui dan mengikuti nama-nama yang dibuat-buat ini maka sungguh dia telah melepaskan ikatan Islam dari lehernya.” (Ibanah Shughra, Ibnu Bath-thah, hal. 137)

Malik bin Mighwal berkata, “Jika seseorang menamakan diri dengan selain Islam dan Sunnah maka lekatkanlah dia dengan agama mana saja.” (Ibanah Shughra hal. 137)

Al-lmam Ibnul Qayyim berkata, “Di antara tanda-tanda ahli ubudiyah bahwasanya mereka tidak menisbat­kan diri kepada suatu nama. Maksudnya, mereka tidak dikenal oleh manusia dengan nama-nama yang telah menjadi simbol-simbol bagi para ahli thariqah (sufi-red). Demikian juga, mereka tidak dikenal dengan suatu amalan yang nama mereka hanya dike­nal dengan amalan tersebut, karena ini adalah penyakit ubudiyah, lantaran ubudiyah ini adalah ubudiyah yang terbatas. Adapun ubudiyah yang mutlak maka pelakunya tidak dikenal dengan salah satu dari nama-nama ubudiyah, karena dia memenuhi setiap panggilan ubudiyah dengan berbagai macamnya. Dia memiliki bagian bersama se­tiap pemilik ubudiyah, maka dia tidak membatasi diri dengan simbol, isyarat, nama, kostum, dan thariqah.

Bahkan jika dia ditanya tentang nama mursyidnya, dia mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika ditanya tentang thariqahnya dia menjawab: Ittiba’ …. Sebagian imam telah ditanya tentang Sunnah maka dia menjawab, ‘Yang tidak punya nama lain kecuali Sunnah’, maksudnya bahwa Ahlus Sunnah tidak memi­liki penisbatan nama selain Sunnah.” (Madarijus Salikin 3/174, 176)

Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid berkata, “Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang berjalan di bawah minhajun nubuwwah tidak pernah lepas walau sedetik pun dari Sunnah, tidak dengan suatu nama dan tidak juga dengan suatu simbol. Mereka tidak pernah menisbatkan diri kepada seorang pun kecuali kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang yang mengikuti jejaknya. Mereka ti­dak memiliki simbol dan metode ke­cuali manhaj nubuwwah (yaitu Kitab dan Sunnah), karena sesuatu yang asli tidak butuh tanda khusus untuk dikenali, yang butuh nama tertentu adalah yang keluar dari yang asli dari kelompok-kelompok yang menyempal dari yang asli (yaitu Jama’atul Muslimin).” (Hukmul Intima’ ilal Firaq wal Ahzab wal Jama’atil Islamiyah hal. 28)

Dari sini, nampaklah kepada kita betapa sangat berbahaya akibat banyaknya kelompok-kelompok dan partai-partai Islam yang memiliki nama-nama, julukan-julukan, metode-metode, dan simbol-simbol yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Jadilah setiap kelompok memiliki juru kampanye, simpatisan, dan anggota. Mereka berikan loyalitas mutlak ke­pada setiap orang yang loyal kepada kelompok mereka dan menisbatkan diri kepada kelompok mereka. Di sisi lain, mereka menjauhi bahkan memusuhi setiap orang yang menyelisihi ke­lompok mereka dan tidak bernaung di bawah panji-panji mereka!

Sampai-sampai sebagian da­ri mereka memberikan loyalitas kepada para ahli bid’ah dari Rafio’hah, Khawarij, Bathiniyah, Shufiyah, dan selain mereka karena para ahli bid’ah ini masuk ke dalam partai dan kelompok mereka. Di saat yang sama mereka memusuhi Ahlus Sunnah karena tidak masuk dalam partai dan kelompok mereka dan tidak ridha dengan kelakuan mereka!

NAMA-NAMA AHLUS SUNNAH YANG SYAR’I

Ketika muncul berbagai kelom­pok bid’ah dan kesesatan, masing-masing menyeru kepada kelompoknya -dalam keadaan mereka menisbat­kan diri kepada Islam secara zhahir-. Maka ahlul haq, para pengikut jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, perlu memiliki nama-nama yang membedakan mereka dari kelompok-kelompok sesat ini. Sehingga muncullah saat itu nama-nama Ahlus Sunnah yang syar’i yang bersumber dari Islam.

Di antara nama-nama mereka ada­lah: Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Firqatun Najiyah, Tha’ifah Manshurah, dan Salaf.

Nama-nama ini tidak bertentangan dengan pembahasan di atas, bah­wasanya Ahlus Sunnah tidak memiliki nama atau julukan selain Islam dan dilalahnya, karena nama-nama ini termasuk dilalah Islam.

Nama-nama Ahlus Sunnah ini se­bagian darinya tsabit dengan nash dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sebagian yang lain­nya didapatkan oleh mereka karena pengamalan mereka terhadap Islam dengan pengamalan yang shahih. Hal ini berbeda sekali dengan nama-nama ahli bid’ah dan julukan-juluk-an mereka, karena nama-nama ahli bid’ah ada kalanya merujuk kepada person seperti Jahmiyah nisbat ke­pada Jahm bin Shafwan, Zaidiyah nis­bat kepada Zaid bin Ali bin al-Husain, Kullabiyah nisbat kepada Abdullah bin Kullab, Karramiyah nisbat kepada Mu­hammad bin Karram, dan Asy’ariyah nisbat kepada Abul Hasan al-Asy’ari.

Ada kalanya merujuk kepada asal usul kebid’ahan mereka, sep­erti Rafidhah karena mereka رفضوا  (menolak) Zaid bin Ali (yang beliau tetap mengakui kekhilafahan Abu Bakr dan Umar, -adm) atau menolak kekhilafahan Abu Bakr dan Umar, Qodariyah karena mereka menolak qodar (taqdir), Murji’ah karena mereka ارجأوا (menangguhkan) amalan dari definisi iman, Khowarij karena mereka khuruj (keluar) dari ketaatan kepada Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib, dan Mu’tazilah karena mereka i’tizal (menjauhi) majelis Hasan al-Bashri.

Adapun dalil-dalil atas nama-nama Ahlus Sunnah maka akan kita jelaskan satu persatu:

1. Ahlus Sunnah wal Jama’ah

Nama ini mengandung dua bagian: Ahlus Sunnah dan al-Jama’ah.

Adapun  lafazh Ahlus  Sunnah, yang dimaksud lafazh Sunnah di sini adalah Islam secara keseluruhan sebagaimana dalam pembahasan definisi Sunnah secara istilah di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan setiap muslim agar berpegang teguh dengan Sun­nah sebagaimana dalam sabdanya:

Siapa yang hidup lama dan kalian akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib atas kalian berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah Khulafa ‘ur Rasyidin yang mendapat petunjuk sepeninggalku. Dan awaslah kalian dan perkara-perkara yang baru, karena setiap perkara yang yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan. (HR. Ahmad 4/1 26, Darimi 1/57, Tirmidzi 5/44, Ibnu Majah 1/15, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Zhilalul Jannah hal. 26, 34)

Hadits ini menjelaskan bahwa seorang muslim yang hakiki adalah seorang muslim yang menegakkan Sunnah dan bahwasanya setiap yang keluar dari Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnah Khulafa’ur Rasyidin adalah bid’ah.

Al-lmam al-Barbahari berkata, “Ketahuilah, Islam adalah Sunnah, dan Sunnah adalah Islam. Tidak akan mungkin tegak salah satu dari keduanya kecuali dengan yang lainnya.” (Syarhus Sunnah hal. 21)

Adapun lafazh al-Jama’ah datang dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

Sesungguhnya umat ini akan berpecah belah menjadi 73 kelompok -yaitu dalam ahwa’- semua di neraka ke­cuali satu yaitu al-Jama’ah. (HR. Ah­mad 4/ 1 02, Darimi 2/3 1 4, Abu Dawud 4597, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Zhilalul Jannah hal. 33)

2. Firqatun Najiyah (Kelompokyang selamat)

Nama ini diambil dari mafhum hadits iftiraqul ummah (perpecahan umat) di atas di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa semua firqah (kelompok) di neraka, kecuali satu yang masuk surga, kelompok ini dikatakan الناجية (selamat) dari neraka.

Yusuf bin Asbath berkata, “Pokok-pokok kebid’ahan ada empat cabang: Rawafidh, Khawarij, Qadariyah, dan Murji’ah. Kemudian masing-masing bercabang menjadi 18 kelompok, itulah 72 kelompok. Dan kelompok yang ke-73 adalah al-Jama’ah yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa dia adalah najiyah (selamat).” (asy-Syari’ah oleh al-Ajuri hal. 51)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ber­kata, “Jika saja sifat Firqatun Najiyah adalah para pengikut jalan sahabat dan itu adalah syi’ar dari Ahlus Sunnah, maka Firqatun Najiyah adalah Ahlus Sunnah.” (Minhajus Sunnah 3/457)

Nama Firqatun Najiyah bagi Ahlus Sunnah adalah nama yang masyhur di kalangan umat sampai-sampai ada sebagian ulama yang menjadikannya sebagai judul kitab-kitab mereka yang memaparkan aqidah Ahlus Sun­nah, sebagaimana dilakukan oleh Ibnu Baththah dalam kitabnya al-lbanah ‘an Syari’atil Firqatin Najiyah wa Mujanabatul Firaqil Madzmumah, dan Ibnul Qayyim dalam kitabnya al-Kafi-yatusy Syafiyah fil Intishar lil Firqatin Najiyah.

Demikian juga, banyak penulis kitab-kitab firaq dan maqalat menye­butkan bahwa Ahlus Sunnah adalah Firqatun Najiyah, seperti Abu Manshur al-Baghdadi dalam kitabnya al-Farqu Bainal Firaq (hal. 313), Abul Muzhaffar al-Isfirayini dalam kitabnya at-Tabshir fid Dien (hal. 185), dan Syaikh Hafizh Hakami dalam kitabnya Ma’arijul Qobul (1/19)

3. Ath-Tha’ifah al-Manshurah (Kelompok yang mendapat pertolongan)

Nama ini diambil dari hadits Ra­sulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

Tidak henti-hentinya ada sekelompok dari umatku yang mendapat pertolong­an (dari Alloh), tidak ada yang bisa membahayakan mereka siapa pun yang menelantarkan mereka hingga tegaknya kiamat. (HR. Ahmad 5/34, Tirmidzi 4/485, Ibnu Majah 1/5, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah 1/6), hadits ini muttafaq ‘alaih dengan la­fazh:

لا تزال طائفة من أمتي ظاهرين على ألحق لا يضرهم من خذلهم حتى يأتي أمر الله

Ath-Tha’ ifah al-Manshurah ini adalah Ahlus Sunnah, sebagaimana dinashkan oleh para imam seperti al-lmam Bukhari, al-lmam Ahmad bin Hanbal, dan al-Qadhi ‘lyadh. (Lihat Syarah Nawawi atas Muslim 13/66-67 dan Fathul Bari 1/164)

4. Salaf iyun

Nama ini disandang oleh Ahlus Sun­nah wal Jama’ah karena ittiba’ mereka terhadap manhaj salafush shalih yaitu para sahabat, tabi’in, dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan dan petunjuk.

Fairuz Abadi berkata, “Salaf adalah orang-orang yang mendahuluimu dari nenek moyangmu dan kerabatmu.” (Qamus al-Muhith 3/153)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Fatimah radhiyallahu ‘anha di saat beliau sakit keras menjelang wafat:

فاتقي الله واصبري، فإنه نعم السلف أنا لك

Bertaqwalah kepada Allah dan bersabarlah, sesungguhnya sebaik-baik salaf (pendahulu) bagimu adalah aku. (HR. Bukhari 5/2317, Muslim 4/1904)

AI-Qalsyani berkata, “Salafush sha­lih adalah generasi pertama yang mendalam keilmuan mereka, yang mengikuti jalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang selalu menjaga Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Alloh pilih mereka sebagai sahabat Nabi-Nya dan Alloh tugaskan mereka untuk menegakkan agama-Nya….” (Tahrirul Maqalah min Syarhi Risalah hal. 36)

Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid berkata, “Jika disebut salaf atau salafiyun atau salafiyah, maka dia adalah nisbat kepada salafush shalih, yakni para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan. Bukan orang-orang yang cenderung kepada hawa nafsu dari generasi sesudah sahabat dan menyempal dari jalan para sahabat dengan nama atau simbol -mereka inilah yang disebut khalafi, nisbat kepada khalaf-. Adapun orang-orang yang teguh di atas manhaj kenabian maka mereka menisbatkan diri kepada salafush shalih sehingga mereka disebut salaf dan salafiyun dan nisbat kepada mereka adalah salafi.” (Hukmul Intima‘ hal. 90)

Syaikh al-Albani berkata, “Adapun orang yang menisbatkan kepada salafush shalih maka dia telah menis­batkan diri kepada kema’shuman -secara umum-. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebut sebagian tanda dari Firqatun Najiyah  bahwasanya mereka berpegang teguh dengan jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Barangsiapa berpegang teguh dengannya maka dia telah berada di atas petunjuk dari Rabbnya dengan yakin … tidak diragukan lagi, penamaan yang jelas dan gamblang adalah dengan mengatakan: ‘Saya seorang muslim yang mengikuti Kitab dan Sunnah dan manhaj salafush shalih’, yang dengan ringkas dia mengatakan: ‘Saya salafi’.” [Majalah al-Ashalah edisi 9 hal. 87)

SESEORANG TIDAK BOLEH DIKELUARKAN DARI AHLUS SUNNAH KARENA KESALAHAN DALAM IJTIHAD

Tidak boleh menghukumi seorang ulama Ahlus Sunnah bahwa dia adalah mubtadi’ atau keluar dari Ahlus Sunnah dengan sebab suatu kesalahan dalam ijtihad, sama saja apakah ijtihad terse­but di dalam masalah-masalah aqidah atau dalam masalah-masalah halal dan haram yang banyak diperselisihkan oleh para ulama Ahlus Sunnah. Hal ini karena dia bermaksud menepati kebenaran, dan itulah yang dia fahami sesuai dengan ijtihadnya. Maka dia berudzur dalam hal itu, bahkan dia diberi pahala atas ijtihadnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم أصاب فله أجران وإذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر

Jika seorang hakim berijtihad memutuskan perkara kemudian benar maka dia mendapat dua pahala. Dan jika dia berijtihad memutuskan perkara kemudian keliru maka dia mendapat satu pahala. (HR. Bukhari 6/2676, Muslim 3/1 342)

Permasalahan ini adalah salah satu dari perkara-perkara yang disepakati oleh para ulama, tidak ada yang menyelisihinya kecuali ahlul bida’ dari Khawarij dan Mu’tazilah, atau orang awam yang terpengaruh pemikiran mereka.

Nash-nash dari Kitab dan Sun­nah serta perkataan salaful ummah menunjukkan bahwa seorang muslim diberi udzur jika seorang keliru tanpa dia sengaja, apabila dia bermaksud mengikuti kebenaran, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman menghikayatkan perkataan orang-orang yang beriman:

رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

Wahai Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau keliru. (QS. al-Baqarah [2]: 286), di dalam Shahih Muslim disebutkan bah­wasanya Alloh berfirman setelah itu, “Sungguh telah Aku lakukan.” (HR. Muslim I/I 1 6)

Alloh ‘Azza wa Jalla juga berfirman:

وَالَّذِينَ آمَنُواْ وَعَمِلُواْ الصَّالِحَاتِ لاَ نُكَلِّفُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا

Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang shalih, Kami tidak memikulkan kewajiban ke­pada diri seseorang melainkan sekedar kesanggupannya. (QS. al-A’raf [7]: 42)

Adapun nash-nash dari Sunnah, di antaranya ialah sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم , “Bahwasanya ada seorang yang berwasiat kepada keluarganya sebelum dia wafat, ‘Jika aku mati, kumpulkanlah kayu bakar yang banyak untuk membakarku. Jika api tersebut telah membakar dagingku hingga tampak tulangnya, maka ambillah dan tumbuklah kemudian taburkanlah di lautan di hari yang banyak anginnya.’ Maka Alloh membangkitkannya dan menanyai orang tersebut, ‘Kenapa engkau lakukan itu?’ Orang tersebut menjawab, ‘Karena takut kepada-Mu.’ Maka Alloh mengampuninya.” (HR. Bukhari, 6/514)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ber­kata, “Laki-laki ini syak (ragu) terhadap qudrah Alloh Ta’ala dan syak terhadap kemampuan Alloh membangkitkannya jika tubuhnya telah menjadi debu, bah­kan meyakini bahwa dia tidak dibangkitkan. Ini adalah kekufuran dengan kesepakatan  kaum  muslimin,  tetapi karena dia jahil (bodoh) tidak mengetahui hal itu dan beriman serta takut kepada hukuman Alloh, maka Alloh mengampuninya dengan keimanannya itu.” (Majmu’ Fatawa 3/23 1)

Ayat-ayat dan hadits di atas me­nunjukkan bahwa Alloh memberikan udzur pada suatu kesalahan dengan sebab kejahilan (ketidaktahuan) betapapun besar kesalahan tersebut dan meskipun berhubungan dengan masalah aqidah seperti mengingkari qudrah Alloh untuk membangkitkan manusia. Jika saja Alloh memberikan udzur atas kesalahan yang begitu be­sar, maka para ulama Ahlus Sunnah lebih berhak mendapatkan udzur jika mereka keliru dalam ijtihad.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Jika telah tsabit dengan Kitabullah bahwasanya Alloh telah mengampuni umat ini dalam hal kekeliruan yang tidak disengaja dan kelupaan maka ini berlaku secara umum. Dan tidaklah di dalam dalil-dalil syar’i yang mengharuskan bahwa Alloh mengadzab umat ini yang berbuat kesalahan dengan ti­dak disengaja … dan juga sesungguhnya para ulama salaf banyak yang terjatuh dalam berbagai kesalahan dalam banyak permasalahan dan mereka sepakat tidak mengkafirkan seorang pun dengan sebab kesalahan-kesalahan tersebut, seperti sebagian sahabat yang mengingkari bahwa mayit bisa mendengar seruan orang yang hidup, dan sebagian mereka menging­kari terjadinya mi’raj dalam keadaan jaga. (MajmuFatawa 12/490, 492)

Dari sini, wajiblah atas kita semua bersikap hati-hati terhadap para ulama dan thullabul ilmi yang dikenal dengan kelurusan aqidah dan manhaj, tidak mudah mengeluarkan mereka dari Ahlus Sunnah dengan sebab kesalahan dalam ijtihad selama ijtihad mereka dalam batas-batas yang bisa diterima secara syar’i.

Barangsiapa begitu mudah menge­luarkan seorang ulama dari lingkup Ahlus Sunnah dengan sebab kesalahan dalam ijtihad, sungguh dia telah menyelisihi manhaj Ahlus Sunnah dalam hal ini dan terjatuh dalam cara-cara ahli bid’ah secara sadar ataupun tidak sadar, karena ahli bid’ah begitu mudah menyalahkan bahkan mengkafirkan setiap orang yang menyelisihi mereka.

Kehati-hatian dalam masalah ini bukan berarti membiarkan adanya ke­salahan dan tidak saling memberi nasihat. Karena menjelaskan al-haq merupakan tugas para ahli ilmu yang telah Alloh tekankan di dalam firman-Nya:

وَإِذَ أَخَذَ اللّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلاَ تَكْتُمُونَهُ

Dan (ingatlah), ketika Alloh mengambil janji dan orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): “Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya.” (QS. Ali Imran [3]: 187)

Hanya saja, penjelasan terhadap adanya suatu kesalahan hendaknya dilakukan oleh seorang yang mumpuni keilmuannya, dan hendaknya dia melakukan hal itu semata-mata mengharap keridhaan Alloh dan menjelaskan al-haq, juga hendaknya dia berusaha menghormati orang yang dia bantah serta memusatkan perhatian pada perkataannya bukan pada person (orang)nya.

Pembahasan ini disarikan dari kitab Mauqif Ahlus Sunnah mm Ahlil Ahwa’ wal Bida’ oleh Syaikh Ibrahim bin Amir ar-Ruhaili (hal. 29-72).

KESIMPULAN

Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang disepakati oleh as-Sabiqunal Awwalun dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.

Yang keluar dari definisi Ahlus Sunnah adalah setiap ahli bid’ah dan ahwa’ yang menyeleweng dari Rasu­lullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang disepakati oleh as-Sabiqunal Awwalun dari kalangan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka.

Tidaklah seorang benar-benar dikatakan Ahlus Sunnah sehingga dia berlepas diri dari semua ahli bid’ah dan pemikiran-pemikiran mereka.

Ahlus Sunnah memiliki karakteristik yang berbeda dengan ahli bid’ah dari segi penamaan, bahwasanya Ahlus Sunnah tidak memiliki nama dan julukan kecuali Islam dan dilalah (signifikasi)nya.

Ahlus Sunnah tidak pernah menisbatkan diri kepada seorang pun dan tidak menjadikan suri tauladan dalam segala sesuatu kecuali kepada Rasu­lullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ketika muncul berbagai kelompok bid’ah dan kesesatan, maka Ahlus Sun­nah perlu memiliki nama-nama yang membedakan mereka dari kelompok-kelompok sesat ini. Sehingga muncul-lah saat itu nama-nama Ahlus Sunnah yang syar’i. Di antara nama-nama mereka adalah: Ahlus Sunnah wal  Jama’ah, Firqatun Najiyah, Tha’ifah Manshurah, dan Salaf.

Tidak boleh menghukumi seorang ulama Ahlus Sunnah bahwa dia adalah mubtadi’ atau keluar dari Ahlus Sunnah dengan sebab suatu kesalahan dalam ijtihad, sama saja apakah ijtihad tersebut di dalam masalah-masalah aqidah atau dalam masalah-masalah halal dan haram yang banyak diperselisihkari oleh para ulama Ahlus Sunnah.

Kehati-hatian dalam masalah ini bukan berarti membiarkan adanya ke­salahan dan tidak saling memberi nasihat. Hanya saja penjelasan terhadap adanya suatu kesalahan hendaknya dilakukan oleh seorang yang mumpuni keilmuannya dan hendaknya dia melakukan hal itu semata-mata mengharap keridhaan Alloh dan menjelaskan al-haq, juga hendaknya dia berusaha menghormati orang yang dia bantah ‘serta memusatkan perhatian pada perkataannya bukan pada personnya. Wallohu A’lam bish shawab.

Majalah al Furqon Edisi 7 Tahun V / Shafar 1427 [Feb ’06] hlm. 28-33

3 thoughts on “Siapakah Ahlus Sunnah wal Jama’ah?

  1. sungguh ana tidak paham dengan “NAMA-NAMA AHLUS SUNNAH YANG SYAR’I” dalam artikel ini. bila sekiranya sunnah adalah berpegang teguh dengan jalan yang ditempuh oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Khulafa’ur Rasyidin baik berupa keyakinan, perbuatan, dan perkataan, secara awam ana memahami bahwa bukanlah sunnah / disebut bid’ah bilamana ada suatu nilai-nilai, perbuatan yang tidak ada pada zaman Rasulullah dan Khulafa’ur Rasyidin, namun mengapa di sana tertulis “nama nama ahlus sunnah yang syar’i” ahlussunah waljamaah, Firqatun Najiyah, Ath-Tha’ifah al-Manshurah, Salaf iyun. bukankah sebaiknya nama-nama/sebutan ini harus nya pun tidak perlu ada? apa bedanya dengan nama partai,kelmpok, golongan yang di sebut di atas sebagai ahli bid’ah

    • Memang seharusnya tidak ada nama yang kita menegakkan al-wala’ wal baro’ di dalamny kecuali pada nama al-Islam. Namun ketika muncul berbagai kelom­pok bid’ah dan kesesatan, masing-masing menyeru kepada kelompoknya -dalam KEADAAN mereka menisbat­kan diri kepada Islam secara zhahir-. Maka ahlul haq, para pengikut jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, perlu memiliki nama-nama yang membedakan mereka dari kelompok-kelompok sesat ini. Sehingga muncullah saat itu nama-nama Ahlus Sunnah yang syar’i yang bersumber dari Islam. Perhatikan dengan baik-baik, saat itu telah muncul nama-nama syar’i Ahlus Sunnah, yakni ketika mulai muncul kelompok-kelompok sempalan. Dan penamaan itu juga bersumber dari para Sahabat Nabi dan para ulama setelahnya yang konsisten dengan manhaj mereka.

      Jadi, nama-nama lain tersebut bukan hanya dikenal pada zaman belakangan, atau muncul dari kalangan mu’ashirin, namun memang telah muncul dari semenjak awal munculnya kelompok-kelompok dalam Islam, sehingga tidak perlu ada pengingkaran pada hal tersebut. Jika suatu saat, kelompok-kelompok itu hilang dengan izin Allah, maka tidak ada nama yang syar’i kecuali digunakannya kembali nama Islam secara muthlak, Wallahu A’lam.

  2. “Tidaklah seorang benar-benar dikatakan Ahlus Sunnah sehingga dia berlepas diri dari semua ahli bid’ah dan pemikiran-pemikiran mereka”

Komentar ditutup.