Mengenal Fikih Nawazil


Mengenal Fikih Nawazil*

Fikih nawazil terangkai dari dua kata yang memillki makna berbeda yaitu fiqh dan nawazil. Sebelum kita mengetahui makna fiqh nawazil setelah dirangkai menjadi satu dan menjadi sebuah nama, maka terlebih dahulu kita sebaiknya mengetahui makna dua kata tersebut.

Fikih, secara bahasa berarti memahami, sedangkan menurut istilah artinya memahami hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan amal perbuatan berdasarkan dalil-dalil rinci dari al-Qur’an dan hadits.

Nawaazil adalah bentuk plural dari kata naazilah yang memiliki makna asal “yang turun atau yang mampir.” Namun kata ini sudah menjadi sebuah nama bagi bencana yang menimpa. Dari sini kemudian kita kenal qunut naazilah.

Kemudian kata ini terkenal penggunaannya di kalangan Ulama ahli fiqh untuk menggambarkan suatu permasalahan baru yang terjadi di tengah umat dan menuntut adanya ijtihad dan penjabaran hukum,

Makna ini terfahami dari perkataan beberapa Ulama, misalnya, perkataan Ibnu Abdil Bar dalam kitab Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa fadhlihi:

Perkataan Ibnu Abdil BarrSebuah bab tentang berijtihad dengan akal berdasarkan kaidah-kaldah pokok saat tidak ada (keterangan) dari nash-nash (al-Qur’an dan Sunnah) ketika nazilah (permasalahan baru yang menuntut ijtihad dan penjabaran hukum-pent) terjadi.

Juga perkataan Imam Nawawi rahimahullah saat menjelaskan salah satu sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

Qoul Imam Nawawi-Syarah Shahih Muslim… dalam hadits ini terdapat (pelajaran) tentang kebolehan para pemimpin melakukan ijtihad pada masalah-masalah baru dan mengembalikan permasalahan ini kepada kaidah-kaidah pokok.

Juga Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan : “Ini sebuah fasal yang menjelaskan bahwa para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan ijtihdd pada nawazil (kasus-kasus baru yang sedang terjadi)[1].

Makna inilah yang diinginkan dalam kalimat fiqih nawazil.

Jadi fiqh nawazil adalah

Makna Fiqh Nawazilmemahami hukum-hukum syari’at terkait dengan kejadian-kejadian baru yang mendesak.

Kesimpulan dari pengertian di atas adalah bahwa sebuah permasalahan dapat dikategorikan nawazil apabila :

a. Sudah terjadi. Ini berarti permasalahan yang belum terjadi tidak bisa dikategorikan nawazil. Namun permasalahan yang ditengarai besar kemungkinan akan terjadi, sebaiknya dibahas dan diperhatikan.

b.         Baru, maksudnya permasalahan ini belum pernah terjadi sebelumnya. Peristiwa yang merupakan pengulangan dari peristiwa yang sudah terjadi sebelumnya tidak bias dimasukkan nawazil.

c. Syiddah, maksudnya permasalahan ini menuntut segera ditetapkan hukum syari’at. Kasus-kasus baru tidak dikategorikan nawazil jika tidak menuntut dan memerlukan hukum syari’at.Misalnya   kasus-kasus baru, yang hanya memerlukan analisa tenaga medis, seperti keberadaan penyakit baru. Juga terkait dengan kekacauan ekonomi dan suhu politik suatu negara. Kedua contoh ini tidak bisa  dikategorikan nawazil. Juga, kejadian-kejadian baru yang tidak terjadi di tengah masyarakat Muslim. Ini juga tidak bias dikategorikan nawazil, kecuali jika dikhawatirkan akan terjadi di tengah masyarakat Muslim.

Sumber: majalah as-Sunnah, edisi 02 thn. XIII/ Jumadil Ula 1430 H/2009 M, hal. 20


* Diangkat oleh Ahmad Nusadi dari kitab Fikih Nawazil 1/18-25 karya Muhammad Husain al-Jizaani.

[1] Syarah Shahih Muslim 1/213. Perkataan ini disebutkan saat menjelaskan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: