Sebab Terjadinya Nawazil


SEBAB TERJADINYA NAWAZIL·)

Setiap zaman ada nawazil (kasus-kasus baru) yang khusus. Pada zaman ini perkembangan nawazil begitu cepat. Kemungkinan penyebabnya kembali kepada dua perkara:

Pertama: Perkembangan ilmu, pengetahuan dan kemajuan teknologi.

Pada abad ini telah terjadi revolusi teknologi yang sangat besar. Dengan adanya penemuan tenaga listrik maka sarana-sarana transportsi pun berubah, yaitu dengan diciptakan mobil, pesawat terbang dan kereta api. Berkembang pula sarana-sarana komunikasi, informasi, dan pengajaran; ditandai dengan pengadaan telepon, radio, komputer, parabola dan internet. Dikembangkan pula alat-alat medis modernyang belum dikenal sebelumnya. Sebagaimana juga ditemukan berbagai nutrisi dan obat-obatan baru yang bisa dipergunakan pada manusia, hewan, dan tanaman. Berbagai perkembangan yang mengagumkan ini memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap terjadinya nawazil dan masalah-masalah yang muncul.

Kedua: Penyimpangan.

Yaitu sikap manusia yang kurang konsekuen dalam menjalankan hukum-hukum agama. Akibat dari perbuatan mereka yang kurang konsekwen itu atau bahkan ini merupakan wujud dari ketidak konsekuenan mereka yaitu bermewah-mewahan dalam berbagai kenikmatan seperti makanan, perumahan, kendaraan, pakaian; tersibukkan dengan berbagai permainan, usaha memperbanyak pemasukan dan tasyabbuh (menyerupai) orang-orarig kafir. Kondisi seperti ini telah diisyaratkan dalam perkataan ‘Umar bin Abdul Aziz rahimahullah: “Permasalahan-pemiasalahan akan bermunculan seukuran dengan penyimpangan yang dilakukan oleh manusia”.[1]

HUKUM IJTIHAD PADA NAWAZIL

Melakukari Ijtihad. dalam nawazil hukumnya wajib kifayah bagi umat ini. Namun terkadang menjadi wajib ‘ain bagi orang-orang (Ulama-pent) yang ditugaskan untuk mengkaji berbagai nawazil. Bagi orang-orang ini, mengkaji nawazil hukumnya wajib ‘ain.[2]

Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah menyebutkan bahwa mayoritas ‘Ulama tidak suka memikirkan masalah-masalah yang belum terjadi dan (membenci) memperpanjang pembicaraan tentang sesuatu sebelum terjadi. Mereka menilainya sebagai perbuatan menyibukkan diri dengan sesuatu yang tidak bermanfaat.[3]

Tentang hal ini, ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam ad-Darimi di dalam Sunannya, 1/49, dari Wahb bin ‘Umair, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Janganlah kamu tergesa-gesa (membicarakan) Suatu masalah sebelum masalah itu terjadi! Sesungguhnya jika kamu tidak tergesa-gesa (membicarakan) masalah sebelum masalah itu terjadi, maka ketika masalah itu terjadi, di kalangan kaum Muslimin itu akan selalu ada orang yang diberi taufiq dan benar jika dia berbicara. Namun jika kalian tergesa-gesa (membicarakan) masalah itu (sebelum terjadi-pent), maka hawa nafsu-hawa nafsu akan menjadikan kalian saling berselisih. Kalian akan diseret ke sana dan kemari”. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk ke arah depan, ke kanan, dan ke kiri”.

Oleh karena itu di antara syarat-syarat permasalahan yang boleh di-ijtihad-kan adalah masalah-masalah tersebut telah terjadi di tengah kaum Muslimin. Sedangkan masalah-masalah yang belum terjadi, maka terkadang melakukan ijtihad pada masalah itu hukumnya makruh, dan terkadang haram. Demikian pula tidak wajib mengkaji masalah-masalah yang hanya terjadi di tengah masyarakat kafir, seperti masalah bank sperma.

URGENSI IJTIHAD PADA NAWAZIL

Melakukan Ijtihad pada nawazil zaman sekarang ini terlihat urgensitasnya pada point-point berikut ini :

  1. Menjelaskan bahwa syari’at ini cocok  untuk setiap zaman dan tempat, dan menjelaskan bahwa syari’at Islam ini merupakan syari’at yang kekal serta bisa memberikan solusi yang mujarab terhadap semua problem dan masalah yang rumit.
  2. Membangkitkan dan mengingatkan umat ini terhadap bahaya berbagai masalah yang menimpa kaum Muslimin. Juga hal-hal yang sangat bertentangan dengan kaedah-kaedah dan tujuan-tujuan agama Islam. Dan sangat disayangkan bahwa permasalahan -permasalahan itu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat Islam sedangkan hakekat (hukum) syari’at terhadap permasalahan-permasalahan itu
    tidak  diketahui oleh  mayoritas  kaum Muslimin di zaman ini.
  3. Memberikan hukum-hukum syari’at yang sesuai pada masalah-masalah yang baru muncul tersebut merupakan tuntutan dan seruan  yang  tegas  menuju penerapan hukum   syari’at dalam seluruh sisi kehidupan. Hal itu merupakan penerapan praktis    yang akan memperlihatkan keindahan Islam dan menunjukkan ketinggian aturan-aturannya.
  4. Adanya kebutuhan untuk mewujudkan informasi lengkap berdasarkan petunjuk syari’at Islam yang mencakup permasalahan-permasalahan zaman ini dan masalah- masalah yang baru.
  5. Tidak   diragukan   bahwa   memberikan hukum-hukum syari’at yang sesuai pada masalah-masalah yang baru muncul di setiap zaman tersebut merupakan tugas utama dalam tajdid agama (pembaharuan menuju   syari’at),   dan   menghidupkan rambu-rambu tajdid  yang telah pudar.

    Sumber: Majalah as-Sunnah  EDISl 02 tahun XIII/JUMADIL ULA 1430 H/MEI 2009M, hal. 21-22

 


  • ) Diterjemahkan dari kitab Fikih Nawaazil  1/32-34 oleh Ustadz Abu Ismail Muslim al-Atsari

[1] Lihat: Al-Muntaqa Syarhul Muwath-tha, karya al-Baaji, 6/140,,

[2] Lihat: Al-Majmu’ Syarhul Muhadz-dzab, 1/28, 45

[3] Lihat Jami’ Bayanil llmi wa Fadh-lihi, 2/139; I’lamul Muwaqqi’in, 1/69; Jami’ul Uluum wal Hikam, 1/240-252; dan Syarhul Kaukabil Munir, 4/584-588